Posted by: afromadhoni | September 10, 2008

Masih Banyak yang Harus Disyukuri

Adalah desa Melati, Alang, dan Supe. 3 Tempat di pesisir Pulau Seram, Kepulauan Maluku tersebut merupakan 3 dari kurang lebih 34 ribu desa di negeri ini yang belum pernah merasakan enaknya fasilitas negara untuk orang banyak yang bernama listrik. Untuk bisa mengakses ke sana tidak bisa dilakukan di sembarang waktu. Kabarnya tiap 6 bulan sekali saja ombak di pesisir ketiga tempat tersebut cukup bersahabat bagi siapa saja yang akan nerkunjung ke sana. Layaknya tempat yang belum terlistriki, desa-desa tersebut boleh dibilang jauh dari peradaban. Sebagian dari penduduk desa tersebut ada yang merasa pesimis berapa tahun lagi listrik bisa merambah ke tempat mereka. Selain itu bahkan ada yang merngatakan sampai negeri ini bubar pun desa mereka tidak akan pernah terlistriki.

Tahu dari mana semua itu? yang pasti saya belum pernah melihat langsung ke sana. hehe… Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Ibu Tri Mumpuni dalam presentasinya yang bertajuk “Inilah Jalanku” di acara Sekolah Indonesia Muda angkatan pertama yang diselenggarakan Himpunan saya, kurang lebih 2 semester yang lalu. Beliau sendiri merupakan salah satu aktivis LSM yang beberapa kali mendapat penghargaan dari beberapa media/surat kabar di negeri ini atas dedikasi dan sumbangsihnya yang begitu tinggi terhadap sebagian masyarakat terpencil di republik ini. Sudah banyak sekali daerah-daerah pelosok di Indonesia yang beliau kunjungi untuk kegiatan kemanusiaan tersebut. Mulai dari ujung barat sampai timur. Kalau tidak salah beliau pernah muncul di salah satu televisi swasta menjelaskan usaha yang sedang dilakukannya, pengembangan pembangkit skala mikrohidro untuk masasyarakat desa tertinggal. Luar biasa, padahal background pendidikan formalnya jauh sangkut pautnya dengan dunia kelistrikan.

Tema yang dibawakan oleh beliau mestinya cukup bisa menyadarkan kembali untuk apa sebenarnya eksistensi kita yang saat ini duduk di bangku kuliah di perguruan tinggi yang konon merupakan salah satu yang terbaik di negeri ini. Buat apa sekolah tinggi-tinggi dan bertitel Engineer kalau tidak bisa mendharmabaktikan ilmu yang sudah diperoleh untuk orang banyak, apalagi kalau bisanya cuma bisa menjadi beban negara yang semakin lama semakin berat. Selain itu dari cerita tersebut setidaknya menyisakan beberapa hal yang bisa diambil pelajaran.

Pertama, cerita tentang tiga desa tersebut menunjukkan salah satu efek pola pembangunan yang sentralistik yang dilakukan selama beberapa puluh tahun. Bahkan tidak jarang kondisi seperti ini juga ditemui di daerah-daerah yang mempunyai potensi alam yang luar biasa banyaknya. Ironis sekali. Padahal merekalah yang mestinya memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih tinggi. Sedangkan di saat yang sama, distribusi energi yang hanya terkonsentrasi pada sebagian kecil wilayah di negeri ini ternyata juga masih menyisakan masalah yang lain. Salah satunya adalah fenomena pemadaman bergilir yang belakangan pernah marak dilakukan di kota-kota besar sebagai usaha untuk mngurangi beban yang dirasa berlebih.

Dan ini yang menurut saya lebih penting. Kisah 3 desa tersebut semestinya membawa kita pada satu hal bahwa masih banyak sebenarnya yang harus disyukuri. Dibanding mereka-mereka itu, kita yang berada di sini sebenarnya berada dalam kondisi yang jauh lebih baik, jauh lebih enak. Kalau saya menyarankan, sebaiknya meraka-mereka yang pikiran dan hatinya sudah tergerus rasa serakah, merasa serba kurang padahal sudah sangat berkecukupan itu perlu dibawa ke tempat seperti Melati, Alang dan Supe itu. Supaya bisa memberikan semacam shock teraphy betapa busuk dan picik hati mereka itu.


Leave a comment

Categories